08 Maret 2014

Cerita Kepadatan yang Menggila

Setiap hari saat berbondong-bondong manusia mengejar waktu yang sama. Sementara fasilitas transportasi massal yang begitu seadanya sepertinya tak pernah mengalami kemajuan berati, stagnan, bahkan cenderung dibiarkan seadanya. Tapi keadaan sering tak memberi pilihan lain. Karena kebutuhan akhirnya lebih banyak yang pasrah menerimanya sebagai sesuatu yang biasa dan seperti itulah keadaan yang harus dihadapi dan dijalani. Cobalah tengok kepadatan yang terjadi di saat pagi hari awal mulainya jam kerja. Pun di saat sore hari ketika jam kerja usai. Mobilitas yang begitu dinamis. 

Saat-saat seperti itu cobalah tengok sejenak ke tempat permberhentian transportasi umum. Entah itu di halte bis biasa maupun bis trans Jakarta, stasiun, bahkan terminal. Tak terkecuali di pinggir-pinggir jalanpun banyak bertebaran penunggu transportasi untuk dapat terangkut menuju tempat aktifitas masing-masing. Namun karena transportasi umum yang diharapkan bisa menjadi solusi mobilitas ternyata masih jauh dari harapan, maka sebagian mobilitas terjadi dengan fasilitas milik pribadi. Tak tertahankan, kepadatan jalan bahkan macet yang kadang mengular pun menjadi hal yang biasa ditemui terutama di pagi dan sore hingga malam hari di hari kerja. Kepadatan yang menyemut, kebisingan mesin bak lebah berkerumun. Belum lagi polusi gas buang kendaraan yang tak terhindakan.

Kepadatan yang menjadi rutinitas, seolah tak pernah dapat terhindarkan. Aku bersama ratusan bahkan ribuan manusia itu mengalami dan menjalanjnya setiap hari. Ungkapan "siapa sutuh datang Jakarta" sepertinya hanyalah kata-kata yang terbang bersama angin lalu. Ibu kota tetap menjadi incaran. Tempat menggantungkan berbagai harapan. Hidup memang harus memilih. Dan siapapun itu semestinya bertanggung jawab penuh atas setiap pilihannya.

Suatu ketika, kepadaan yang kutemui hari itu benar-benar menggila. Tempat yang terbatas, manusia yang melebihi kapasitas angkut, sementara waktu yang dikejar berada pada range yang sama. Lalu apa yang terjadi kemudian? Sepertinya hukum rimbalah yang kemudian menjadi aturan. Siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia terangkut. Jika kemudian beruntung dapat terangkut, tengoklah seperti apa situasi di dalamnya. Begitu rapat. Bahkan semut dan laba-laba pun akan berpikir ulang bila ingin melintas diantara kerapatan itu. Tangan-tangan yang terentang tinggi. Bukan seperti murid yang ingin bertanya pada gurunya, atau sekedar melambaikan tangan pada seorang kawan, pun bukan pula latah meniru iklan pemutih yang memamerkannya kulitnya. Tapi tangan-tangan itu terentang untuk menggapai dan mendapatkan pegangan sehingga tubuhnya dapat berdiri tegak dan bertahan dari gelombang dorongan yang dahsyat. 

Begitu pula dengan kaki-kaki yang berserakan tak beraturan. Dalam keadaan seperti itu bahkan mata pun tak lagi mampu melihat posisi kaki kita dimana. Begitu kacau balau. Andai terjadi pertukaran tak sengaja atas sepatu-sepatu yang digunakan, mungkin tak terlalu menjadi masalah besar. Namun yang begitu aku takutkan adalah bila tiba saatnya nanti aku tiba di stasiun tujuan dan harus menembus lapisan benteng manusia yang tak beraturan itu, melewati kaki-kaki yang berserakan itu, tak hanya sepatu yang tertukar tapi kakiku pun ikut tertukar......