03 Maret 2012

Rumah kami, dan kenangan....

Rumah itu menjadi saksi bisu atas segala aktifitas dan semua hal yang terjadi antara kami, para penghuninya. Andai dia bisa mengungkapkan, pastilah banyak cerita yang dapat disampaikannya. Berbagai rasa tertuang mewarnai hari-hari kami di sana. Ada rasa bahagia, berbagi, rasa suka, ketenangan, kedamaian hingga rasa duka, kemarahan, kebencian, kehilangan dan semua rasa yang ada pernah singgah di sana. Tak heran, karena di sanalah tempat kami ada, berkumpul bersama menjalani hari-hari kami.

Sebelumnya selama bertahun-tahun masa kecil kami dihabiskan di sebuah gang sempit nan buntu dengan pemukiman yang padat. Lingkungan yang lebih baik menjadi pertimbangan utama ibunda untuk membawa kami menuju rumah itu. 
Tak salah memang. Masih segar dalam ingatan, masa kecil kami dilalui dengan saat-saat bermain di gang sempit yang mengharuskan kami selalu waspada terhadap kendaraan yang lalu lalang, bercampur dengan pedagang keliling yang seolah seliweran tiada henti. Belum lagi warga penghuninya yang begitu majemuk, memberi warna tersendiri. Mudah terdengar suara musik yang di-stel dengan sekeras-kerasnya yang mungkin bisa didengar oleh warga satu RT. Belum lagi ketika terjadi "perang domestik", suaranya pun kadang begitu jelas terdengar hingga menjadi berita utama para penggosip, dan anak-anak pun ikut-ikutan mendengar pembicaraan yang begitu heboh yang seharusnya tak pantas didengar oleh kami. Cerita dari tetangga pun banyak ragamnya. Ada cerita tentang anak tetangga sebelah yang mencoba menjadi petinju karena perawakannya yang kekar, namun bagi kami cukup menyeramkan karena tampangnya yang mirip dengan preman. Belum lagi cerita getir yang didapat dari anak tetangga yang mendapat perlakuan tak senonoh saat pulang kerja sebagai buruh pabrik di malam hari hingga akhirnya hamil tanpa status menikah. Ada lagi cerita sang mantan polisi yang masih menularkan rasa kebanggaannya akan profesinya tersebut, hingga kadang kebanggaannnya menjadi sedikit gangguan bagi para tetangganya. Cerita yang lumayan sering terjadi adalah manakala terjadi perang antar tetangga. Hampir dapat dipastikan menjadi tontonan yang menarik buat warga lainnya dan menjadi berita utama berhari-hari. Bahkan sering terjadi peperangan itu dipicu dari anak-anak mereka yang saling bertengkar saat bermain dan mengadu pada orang tuanya, hingga mereka pun tersulut untuk membela anak mereka masing-masing. Lucunya di saat mereka masih bersitegang, anak-anaknya sudah kembali bermain bersama lagi dan kadang ikut-ikutan menjadi penonton dari perseteruan tersebut.
Keadaaan dengan cerita-cerita beragam seperti itulah yang menjadi warna di masa kecil kami.



Sekitar tahun 1989, ketika ada kesempatan untuk keluar dari lingkungan tersebut, ibunda kami terutama tak melewatkan kesempatan itu hingga akhirnya kami sekeluarga pun menuju rumah itu dan mulailah kehidupan baru kami jalani di sana. Rumah baru tempat kami bernaung, dengan suasana baru dan lingkungan yang baru pula. Lingkungan dan rumah yang benar-benar berbeda dari tempat kami sebelumnya.

Sebelumnya kami tinggal di lingkungan yang begitu padat warganya, kini kami berteman dengan desiran angin yang datang dari arah persawahan di depan rumah kami, akrab dengan nyanyian jangkrik di malam hari, dan akrab dengan nyanyian kodok yang bersahutan. Kadang malah sepi tanpa suara, apalagi di kala malam hari. Teramat jarang pedagang yang lewat di muka rumah.Benar benar sepi. Berbeda jauh dengan lingkungan tempat kami sebelumnya yang seolah tak pernah ada jeda waktu istirahat.
Beberapa rumah tetangga dapat ditemui dengan berselingan dengan tanah kosong ataupun persawahan. Masih begitu jarang. 
Ada cerita lucu yang tak pernah kami lupa saat awal-awal menempati rumah itu. Kesibukan pindah rumah tentunya cukup menyita waktu seluruh penghuni rumah, hingga ibunda kami pun tak sempat menyediakan masakan untuk makan malam kami. Sesaat kemudian, terdengar suara dentingan sendok yang beradu dengan mangkok. Suara khas pedagang bakso. Dengan serempak kami berteriak memanggil abang tukang bakso. Namun yang terjadi kemudian si abang tukang bakso malah mempercepat langkahnya meninggalkan kami yang begitu berharap dia berhenti dan kami dapat menikmati baksonya di malam itu. Rupanya kami masih harus bersabar. Tak lama berselang, terdengar suara khas yang bagi kami malam itu terdengar begitu merdu, "Te..satttteee....." Serentak kami pun berteriak memanggilnya untuk berhenti. 
Namun kejadian yang sama terulang lagi. Abang tukang sate tak mau berhenti, malah berjalan cepat setengah berlari menghindari rumah kami. Kembali kami gigit jari malam itu dengan pertanyaan besar di benak kami, ada apa? Apa yang salah?

Selidik punya selidik, akhirnya beberapa hari kemudian tragedi "lapar di malam itu" akhirnya terungkap. Ternyata penduduk sekitar menganggap rumah kami adalah rumah angker. Katanya sih beberapa orang pernah mendengar atau melihat "sesuatu" yang aneh di rumah kami. Rumah itu memang sudah lama kosong tak berpenghuni. Pemilik rumah, yang masih kerabat kami, lebih sering berada di rumahnya yang lain, mungkin karena beliau sendiri memiliki penyakit yang memerlukan kontrol ke rumah sakit secara berkala hingga pertimbangan lokasi yang terdekatlah yang dipilihnya. Rupanya, saat malam itu kami berteriak memanggil si abang penjula bakso dan sate, mereka mengira 'makhluk' yang tak diinginkanlah yang memanggil, hingga mereka bergegas ketakutan menghindari rumah kami. Kami tergelak, tertawa mengetahui hal tersebut.

Di rumah itu pula aku lalui masa remajaku. Saat-saat berkesan saat pertama kali mengenal berbagai rasa masa remaja. Saat-saat menunggu pak pos datang menghantarkan surat pembawa kabar berita bahagia. Sampai-sampai pak pos yang jadi langganan pengirim surat, hapal dan mengenal nama-nama kami. Hingga kemudian tiba pula saat-saat membahagiakan ketika akhirnya aku harus melepaskan diri dari keluarga besarku untuk membangun keluargaku sendiri bersama sang lelaki pujaan hati. 

Tak hanya cerita suka. Masa-masa suram pun terjadilah pula di sana. Kembali kebisuannya merekam segala aktifitas para penghuninya. Lengkap tanpa terlewatkan sedikit pun.
Ada masa-masa penuh dengan amarah,
masa-masa penuh dengan kesedihan, kehilangan,
kesepian, hingga kesendirian....

Ah, andai tembok-tembok itu mampu memutar kembali cerita yang terekam, pastilah begitu banyak ragam dan panjang cerita yang ditampilkannya.
Mungkin kami akan kembali tersenyum melihatnya,
mungkin pula kami akan larut dalam kesedihan dan tangisan saat masa-masa suram kembali disuguhkan dalam pandangan kami.



Di rumah itulah, masa-masa bunda kami melewati hari-hari terakhirnya dalam kesendirian.
Satu persatu anggotanya meninggalkan rumah.
Hanya saat-saat tertentu menjadi satu moment untuk kembali berkumpul bersama. Riuh, gaduh dengan anggota yang bertambah banyak. Namun keramaian yang hanya sesaat..
Setelah masanya lewat, kembali sunyi, sepi..




Februari 2012
Saat itulah akhirnya kami harus melepasnya, untuk dimiliki orang lain
Tak ada lagi tempat kenangan itu dengan ragam ceritanya
Tak ada lagi tempat bersejarah itu untuk kami
Tak ada pilihan lain, hanya untuk sebuah amanah
Namun, 
keberadaannya tetap ada di hati kami
dengan segala kisah dan ceritanya
walaupun secara fisik kami tak lagi memilikinya...

















 

Tidak ada komentar: