21 April 2010

Ka eR eL


Sebelumnya, tak pernah sedikitpun terpikir untuk menjadikan KRL sebagai sarana transportasi. Pemandangan penumpang KRL yang selama ini saya ketahui, benar-benar pemandangan yang bikin miris. Nyawa manusia seakan tak ada artinya. Terlihat jelas, di saat jam-jam sibuk di pagi hari atau sore menjelang malam, gerbong-gerbong yang panjang berderet itu penuh sesak dengan penumpang, sampai-sampai atap gerbong yang nota bene bukan tempat untuk penumpang pun ikut-ikutan penuh bahkan beberapa ada yang hanya 'menempel' di bagian belakang gerbong. Ketika kemudian mutasi tugas ke Jakarta saya terima, mengharuskan kami untuk membuat pilihan di mana kami akan menentukan tempat tinggal. Semaksimal mungkin kami berusaha untuk mempertimbangkan berbagai hal sebelum akhirnya pilihan kami jatuh di kota Depok.
Apa yang sebelumnya 'tak pernah terlintas'pun kini menjadi salah satu bagian kehidupan kami. Ya, jarak tempuh yang lumayan jauh antara rumah dan kantor, 'memaksa' kami untuk memilih KRL sebagai sarana transportasi kami untuk beraktifitas di dunia kerja. Beruntunglah kami, karena saat ini sudah tersedia KRL dengan label ekspres, sehingga kami terbebas dari pemandangan KRL yang 'miris' itu. Jarak yang lumayan jauh itupun dapat kami tempuh rata-rata dalam waktu 30-45 menit. Jadilah kami tercatat sebagai anggota 'roker' (rombongan kereta).

20 April 2010

Jangan (pernah) sepelekan wanita

Jangan Sepelekan Wanita. Tulisan itu benar-benar menarik perhatian saya. Sekilas ketika saya baca, isinya bertutur mengenai persamaan gender antara pria dan wanita. Bahwa wanita pada masa sekarang ini tidak lagi dipandang sebagai warga kelas dua, di mana setiap saat berada di dalam bayang-bayang pria. Bahwa wanita sekarang ini telah menunjukkan kemampuannya untuk bergerak dan berkaya bahkan di bidang-bidang yang selalu didominasi oleh kaum pria. Bahwa wanita sekarang ini punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan berkarier setinggi-tingginya dan seterusnya..dan seterusnya...
 

Dalam konteks yang berbeda saya memang setuju dengan ungkapan itu. Tak dapat dipungkiri keberadaan manusia tidak terlepas dari peran wanita-wanita sebagai ibu mereka yang telah menghadirkan mereka di dunia ini. Tak dapat dipungkiri pula di balik orang-orang besar terdapat peran wanita di belakangnya, minimal peran sang ibu yang telah membesarkan dan memberikan padanya pendidikan dasar.
Tengoklah pada sejarah. Banyak tokoh-tokoh besar yang dibalik kesuksesan mereka ada peran seorang wanita yang terlibat di dalamnya. Rasulullah, Muhammad SAW, dalam kesuksesan dakwahnya pun tak terlepas dari peran wanita yaitu istri-istri beliau dan kaum wanita pada saat itu yang istiqomah memegang teguh keyakinan terhadap ajaran Islam yang disebarkan Nabi Muhammad. Seorang Julius Caesar di balik kehebatannya ada Cleopatra di dalamnya, seorang Hitler bahkan Napoleon Bonaparte pun terlibat wanita dalam kisahnya mengukir sejarah. Seorang mantan penguasa di negeri ini pun konon katanya dalam kepemimpinannya didominasi oleh sang istri dalam pengambilan kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Beberapa waktu yang lalu pun santer diberitakan 'kejatuhan' seorang pejuang anti korupsi juga karena ulah seorang wanita. Dan mungkin juga masih segar dalam ingatan ketika seorang 'idola' yang dianggap menjadi panutan akhirnya tenggelam dari pemberitaan juga karena keputusannya menduakan wanita.



12 April 2010

P.I.N.D.A.H (lagi......)

Di penghujung tahun lalu datang berita yang cukup membuat saya kaget. Surat Keputusan dari Kantor Pusat untuk pindah tugas ke Jakarta telah diterbitkan. Itu berarti saya dan keluarga harus ‘boyongan’ lagi, mulai bebenah dan siap-siap untuk pindah rumah lagi. Dan satu hal yang pasti, kami harus mulai ‘hunting’ sekolah lagi untuk anak-anak.

Dua tahun yang telah berlalu, saya dan keluarga berada di kota ini. Shafira, yang diawal pindah dulu sempat mogok sekolah, saat ini sudah menikmati bersekolah di sekolah barunya ini bersama teman-teman dan guru-guru yang selalu diceritakannya tiap hari. Selalu ada cerita yang terurai dari mulutnya, yang kadang membuat kami tertawa geli mendengar tingkah laku mereka di sekolah. Tak ada lagi alasan-alasan dari mulutnya untuk tidak berangkat ke sekolah.
Begitupun dengan Hanifa. Baru satu semester ini dijalaninya di SMP. Sekolah yang sangat diinginkannya kala dia masih di kelas 6 lalu. Darinya pun sama, selalu ada cerita yang dibawanya saat pulang ke rumah. Terlihat jelas betapa bangganya dia bisa duduk di kelas itu dan menjadi bagian dari program sekolah unggulan satu-satunya yang ada di kota itu.

SK yang kemudian saya terima tentunya membuyarkan itu semua. Sedih rasanya ketika kabar ini saya sampaikan kepada mereka, mereka berkata, “ Jadi, kita pindah lagi ? Ganti sekolah lagi, Ma?” Sorot mata bening mereka, benar-benar menyiratkan kekecewaan… Duh, maafkan kami, Nak. Semoga kepindahan ini menjadi kepindahan kita yang terakhir, doa itu yang kemudian kami panjatkan pada-Nya.
Pindah, pindah tugas, pindah kantor berarti pindah kota dan pindah rumah lagi. Berarti kesibukan untuk menata barang-barang harus mulai dilakukan. Repot sudah pasti dan kepindahan kali ini adalah kepindahan kami untuk kelima kalinya! (Itu pun belum termasuk kepindahan 'lokal' karena pindah rumah kontrakan....) Mungkin karena sudah beberapa kali mengalami hal yang sama, hal-hal yang harus dikerjakan seolah sudah terpola. Tapi walau demikian tetap saja yang namanya repot bin riweuh selalu menyertai. Apalagi anggota keluarga kami sekarang bukan lagi keluarga kecil. Barang-barang yang sepertinya terlihat seadanya, ternyata di saat ditata untuk kepindahan ini jadi terlihat begitu banyak. Mulai dari barang-barang rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan anak-anak sampai pernak-pernik mainan anak-anak.

Kepindahan kami kali ini datang dengan tiba-tiba, mengingat saat itu saya tugas saya di sana 'baru' dua tahun berjalan. Dibandingkan dengan tempat-tempat tugas sebelumnya, rata-rata dijalani minimal tiga tahun bahkan ada yang hampir 8 tahun, rentang waktu dua tahun relatif pendek buat kami. Apalagi buat anak-anak...