12 April 2010

P.I.N.D.A.H (lagi......)

Di penghujung tahun lalu datang berita yang cukup membuat saya kaget. Surat Keputusan dari Kantor Pusat untuk pindah tugas ke Jakarta telah diterbitkan. Itu berarti saya dan keluarga harus ‘boyongan’ lagi, mulai bebenah dan siap-siap untuk pindah rumah lagi. Dan satu hal yang pasti, kami harus mulai ‘hunting’ sekolah lagi untuk anak-anak.

Dua tahun yang telah berlalu, saya dan keluarga berada di kota ini. Shafira, yang diawal pindah dulu sempat mogok sekolah, saat ini sudah menikmati bersekolah di sekolah barunya ini bersama teman-teman dan guru-guru yang selalu diceritakannya tiap hari. Selalu ada cerita yang terurai dari mulutnya, yang kadang membuat kami tertawa geli mendengar tingkah laku mereka di sekolah. Tak ada lagi alasan-alasan dari mulutnya untuk tidak berangkat ke sekolah.
Begitupun dengan Hanifa. Baru satu semester ini dijalaninya di SMP. Sekolah yang sangat diinginkannya kala dia masih di kelas 6 lalu. Darinya pun sama, selalu ada cerita yang dibawanya saat pulang ke rumah. Terlihat jelas betapa bangganya dia bisa duduk di kelas itu dan menjadi bagian dari program sekolah unggulan satu-satunya yang ada di kota itu.

SK yang kemudian saya terima tentunya membuyarkan itu semua. Sedih rasanya ketika kabar ini saya sampaikan kepada mereka, mereka berkata, “ Jadi, kita pindah lagi ? Ganti sekolah lagi, Ma?” Sorot mata bening mereka, benar-benar menyiratkan kekecewaan… Duh, maafkan kami, Nak. Semoga kepindahan ini menjadi kepindahan kita yang terakhir, doa itu yang kemudian kami panjatkan pada-Nya.
Pindah, pindah tugas, pindah kantor berarti pindah kota dan pindah rumah lagi. Berarti kesibukan untuk menata barang-barang harus mulai dilakukan. Repot sudah pasti dan kepindahan kali ini adalah kepindahan kami untuk kelima kalinya! (Itu pun belum termasuk kepindahan 'lokal' karena pindah rumah kontrakan....) Mungkin karena sudah beberapa kali mengalami hal yang sama, hal-hal yang harus dikerjakan seolah sudah terpola. Tapi walau demikian tetap saja yang namanya repot bin riweuh selalu menyertai. Apalagi anggota keluarga kami sekarang bukan lagi keluarga kecil. Barang-barang yang sepertinya terlihat seadanya, ternyata di saat ditata untuk kepindahan ini jadi terlihat begitu banyak. Mulai dari barang-barang rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan anak-anak sampai pernak-pernik mainan anak-anak.

Kepindahan kami kali ini datang dengan tiba-tiba, mengingat saat itu saya tugas saya di sana 'baru' dua tahun berjalan. Dibandingkan dengan tempat-tempat tugas sebelumnya, rata-rata dijalani minimal tiga tahun bahkan ada yang hampir 8 tahun, rentang waktu dua tahun relatif pendek buat kami. Apalagi buat anak-anak...

Andai keputusan ini datang dua tahun sebelumnya, tentu menjadi anugrah yang tak terkira buat kami. Saat itu keluarga kami sempat terpisah antara Jakarta dan Kalimantan. Suami yang telah lebih dulu dipindah ke Jakarta dengan sangat terpaksa meninggalkan kami yang harus tetap tinggal di bumi Kalimantan karena saya masih bertugas di sana. Keinginan untuk pindah mengikuti suami beberapa kali mentah di Kantor Pusat alias ditolak mentah-mentah!
Kepindahan suami ke Jakarta memang bukan tanpa rencana. Dengan pertimbangan keinginan untuk dapat menetap dan mengakhiri masa 'nomaden', akhirnya suami memutuskan untuk keluar dari unit kerja kami sekarang ini dan melamar ke unit kerja yang lain yang masih dalam satu departemen. Segala konsekuensi tentunya harus diterima, suami harus membangun kembali kariernya dari nol. Tapi pengorbanan itu tentunya sebanding dengan 'kehidupan menetap' yang nantinya akan kami jalani. Namun rencana itu ternyata tak terlalu berjalan mulus. Allah menentukan lain. Kami masih harus menempuh 'ujian' terpisah antara 2 pulau hampir satu tahun lamanya. Hingga akhirnya jalan itu terbuka dengan melalui program kantor prima di unit kami. Alhamdulillah akhirnya saya dan anak-anak bisa masuk kembali ke pulau Jawa walaupun tidak ke kota yang jadi tujuan kami sebelumnya. Satu hal yang patut disyukuri, jarak antara Jakarta-Serang masih dapat ditempuh dalam hitungan jam.

Mulailah kehidupan kami di kota ini dengan komposisi keluarga yang utuh, walaupun suami harus menjadi anggota PSSI (pergi subuh sampai isya). Setidaknya setiap hari kami masih dapat bertemu, dan anak-anak pun tak kehilangan figur sang ayah. Anak-anak mulai beradaptasi dengan lingkungan baru. Saya pun demikian, mulai menjalani tugas baru di kantor baru. Masa yang buat saya dapat dijalani dengan 'enjoy'. Lingkungan yang begitu kondusif hingga suasana kantor yang benar-benar membuat kami nyaman dalam menjalankan tugas. Dan semua itu harus diakhiri dengan datangnya sang SK..

Terbayanglah suasana yang jauh berbeda dengan kepindahan ini. Tugas di Jakarta, berarti kami harus mencari rumah di sekitar wilayah bodetabek, karena untuk tinggal di Jakarta tentunya cukup berat bagi kami. Berat dengan biayanya dan terutama berat untuk kehidupan anak-anak sehari-hari, juga untuk pendidikannya. Rutinitas rumah tangga buat saya berarti harus dimulai jauh lebih awal. Aktifitas untuk memandikan si kecil dan menyuapinya sarapan pagi tak mungkin lagi dilakukan di hari kerja. Mengantar anak-anak sekolah pun tak mungkin lagi dilakukan. Istirahat di siang hari pun tak lagi dapat digunakan untuk menengok anak-anak di rumah, walaupun dalam waktu yang singkat, setidaknya ada kepuasan batin tersendiri memastikan bahwa anak-anak dalam keadaan baik, terjamin makannya dan dapat istirahat tenang di siang hari. Semua itu hampir dapat dipastikan menjadi kegiatan yang tinggal impian...

Yah.. apapun yang terjadi, life must go on. Selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Setidaknya untuk saat ini ketenangan mulai terwujud. Saya dan suami dapat berangkat dan pulang bersama-sama lagi. Kedekatan kami dengan keluarga besar pun dapat terjalin semakin erat. Akses dan kemudahan lain untuk tetap terhubung dan bersilaturahmi dengan keluarga lainnya akhirnya kami dapatkan. Dan pada akhirnya kamipun berpasrah pada-Nya seraya berharap bahwa inilah kepindahan kami yang terakhir...

Tidak ada komentar: