19 Oktober 2009

Cinta dan Kesetiaan Seorang Wanita

Perjalanan hidup seseorang memang tak bisa ditebak. Jauh menerawang pikirnya ke masa-masa yang telah lalu. Namun kemudian dia pun tersadar. Tak ada guna berandai-andai. Hidup sesuai pilihannya harus tetap dihadapi. Itu yang selalu membuatnya tetap tegar. Dia memilih dan berprinsip untuk bertanggung jawab atas apa yang telah menjadi pilihan hatinya.

Dulu, dia adalah seorang "primadona" yang kecantikannya begitu terpancar jelas. Begitu banyak 'kumbang' yang ingin mendekatinya. Tapi dengan kekerasan hatinya, tak ingin dia diatur apalagi untuk menentukan jodohnya. Dia yang terlahir dan dibesarkan dalam kalangan ningrat, kalangan keluarga yang terpandang kala itu, tak pernah sekalipun membeda-bedakan asal-usul seseorang. Baginya semua orang sama, terlahir di dunia tanpa apa-apa dan suatu saat akan kembali kepada 'Yang Mencipta' pun tanpa membawa apa-apa. Semua harta dan gelar yang dipunyai pasti akan ditinggalkan.



Prinsip itulah kemudian yang dijadikan dasar ketika dia memilih seseorang untuk dijadikan pendamping hidupnya. Dia, lelaki pilihannya, hanyalah seorang biasa dari kalangan biasa, yang saat itu masih kuliah sambil mengajar di sebuah sekolah sebagai guru. Tentu saja pilihannya itu membuat gusar keluarga besarnya. Mulai dari urusan bibit, bebet, bobot, tak sebanding hingga mempertanyakan kehidupan yang akan dijalani nantinya, mengingat selama ini dia selalu hidup dalam keadaan yang cukup. Walaupun masyarakat saat itu hidup di masa-masa yang begitu sulit. Tapi dia tak bergeming. Dengan mantap dia memilih lelaki itu, dengan segenap hati, jiwa dan raganya. Keinginan yang begitu kuat itupun akhirnya tak dapat dibendung oleh keluarga besarnya, hingga akhirnya mereka pun menyetujuinya untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Pernikahan yang dipenuhi dengan cinta kasih, dijalaninya dengan penuh kebahagiaan, walaupun dalam keadaan yang serba terbatas dan apa adanya. Dia paham betul, lelaki yang kini menjadi suaminya berpenghasilan pas-pasan sebagai seorang guru kala itu, ditambah lagi lelaki itu masih harus berjuang untuk membiayai kuliahnya sendiri. Lelaki itu memang lelaki yang tangguh. Dia bukanlah seorang yang menyerah pada keadaan. Keinginan dan tekad yang kuat untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya diperjuangkannya dengan sekuat tenaga, dengan segenap kemampuan diri. Dia sadar betul, tak mungkin berharap banyak dari kedua orangtuanya untuk turut membiayai kuliahnya. Sementara dalam keadaan hidup yang serba seadanya, orang tuanya masih harus membiayai adik-adiknya untuk sekolah dan biaya hidup sehari-hari. Mungkin, itulah yang memikat hati wanita itu. Dia terpesona dengan kekuatan tekad sang lelaki yang berjuang sendiri untuk kehidupan yang lebih baik.

Seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan mereka pun mulai membaik. Karier sang lelaki perlahan tapi pasti mulai beranjak naik. Kecukupan materi dan perbaikan dalam penghidupan ternyata berbanding terbalik dengan kehidupan rumah tangga mereka. Lelaki itu mulai berubah! Apa yang diinginkannya dari orang lain harus didapatnya karena selama ini dia selalu dapat mencapai apa yang dicita-citakannya dengan usahanya sendiri.
Tuntutan untuk selalu mendapatkan segala sesuatu yang sempurna, tak semuanya dapat dipenuhi oleh sang wanita. Apalah bisa dikata, sang wanita hanyalah manusia biasa yang penuh dengan keterbatasan.
Lelaki itu memunculkan keangkuhannya. Dia merasa tak lagi sebanding dengan wanita itu. Mulailah dia mencari kesenangannya sendiri. Dia lupa bagaimana dulu mereka membangun kehidupan yang serba pas-pasan, bahu membahu walaupun harus dengan merangkak! Dia lupa, kesabaran dan dukungan penuh selalu diberikan wanita itu dengan penuh cinta. Dia benar-benar lupa semua itu, bak kacang lupa akan kulitnya. Yang ada di pikirnya hanyalah kesombongan, bahwa semua yang ada sekarang ini adalah hasil jerih payah dan tetesan keringatnya sendiri..
Wanita itu sedikitpun tak berubah. Perlakuan sang suami tak sedikitpun menyurutkan cintanya. Baginya keluarganya ini adalah segala-galanya. Baginya 'keutuhan' yang selalu ingin dipersembahkannya terutama untuk anak-anak buah cinta mereka. Dia tak ingin anak-anaknya tumbuh bagaikan burung yang terbang dengan sebelah sayap. Yang dia inginkan anak-anaknya tumbuh selayaknya anak-anak lainnya. Hidup dalam keluarga yang "utuh" walau keutuhan itu sendiri telah bias adanya.. Tak sedikitpun terlintas dibenaknya untuk mengurai jalinan yang telah dibangunnya dengan susah payah. Tak sedikitpun berkurang baktinya pada sang lelaki. Segala kebutuhan dan keinginannya tetap dituruti. Semua kewajiban tetap dijalankan, walau seringkali dia tak mendapat penghargaan sedikitpun atas apa yang dipersembahkannya. Sikap kasar, omongan yang tak pantas diterimanya dengan lapang dada. Kadang hatinya menangis, kadang perasaannya hancur, tapi wajahnya tetap menyunggingkan senyum, pahit... getir....
Dengan segala kekuatan batinnya, dibesarkannya anak-anak buah cinta mereka dengan sepenuh hati. Dididiknya dengan pendidikan yang terbaik. Pun kala anak-anak itu menjalankan aksi protes saat mengetahui tabiat ayah mereka, dengan keras dan tegas dilarangnya mereka untuk membenci lelaki itu. Dia tak ingin anak-anak yang dikasihinya jatuh ke jurang dengan cap 'anak durhaka'. Selalu ditekankannya untuk menghormati lelaki itu, "Sejelek apapun dia, dia adalah ayahmu. Darahnya mengalir di tubuh kalian. Do'akanlah agar dia dapat kembali dan berlaku sebagai ayah untuk kalian" selalu itu yang diucapkannya pada mereka.
Waktu berlalu begitu cepat. Bertahun-tahun dijalaninya kehidupan yang sama. Hidup dengan lelaki yang dicintainya walau sang lelaki tak lagi peduli pada dirinya. Dunia lelaki itu bukan lagi dunianya, masing-masing berada di jalannya sendiri-sendiri. Lelaki itu tetap dengan segala ego dan keangkuhannya. Sementara sang wanita tetap dengan cintanya untuk lelaki itu dan anak-anaknya. Merekalah yang menjadi penerang hidupnya, merekalah yang selalu menjadi kebanggannya. Bagaimana tidak, dengan keadaan yang serba tak tentu bahkan mungkin 'aneh' buat keluarga pada umumnya, dia berhasil mengantar anak-anaknya "menjadi seseorang". Tak heran bila anak-anak itu selalu memberikan totalitas dalam segala hal untuk wanita itu.
Hingga suatu saat sampailah pada suatu titik dimana biduk kapal yang selalu dipertahankannya untuk dapat tetap berlayar karam di perairan yang tak bertepi. Entah apa yang ada dalam pikirnya. Entah apa yang terlintas dalam benaknya, entah apa pula yang terkandung di hatinya.. Perasaan sedih, sakit, hancur atau mungkin lega terbebas dari segala beban... Satu hal yang pasti dan tetap ada bahwa dia tetap mencintai lelaki itu!!
Kehidupannya setelah itu memang berubah. Bersama para buah hatinya dijalaninya sisa-sisa kehidupan yang masih dimilikinya dengan sedikit perasaan lega. Diberikannya hidupnya untuk membangun kembali bangunan yang telah runtuh dengan "tembok-tembok" yang baru. Bahagia sepertinya terpancar dari raut wajahnya, manakala keberhasilannya untuk bangkit kembali dapat dilakukannya. Setidaknya itu yang disangkakan para buah hatinya. Tapi entah apa yang ada dihatinya.. Dialog dalam hatinya itu hanya Allah dan dirinyalah yang tahu.
Seiring dengan pertambahan usia, ditambah dengan beratnya beban pikiran yang ada, mulailah muncul 'para penyerang' tubuh pada wanita itu. Satu hal yang sangat disyukurinya bahwa dia sangatlah beruntung, para buah hati yang dibesarkannya dengan penuh cinta selalu berada disisinya untuk selalu mendukung dan menjaganya kini. Do'anya untuk keberhasilan dan kebaikan para buah hatinya didengarkan oleh Sang Kuasa. Betapa bahagianya dia ketika menyadari bahwa para buah hatinya itu kini berada dalam kehidupannya yang jauh lebih baik. Dalam kerentaannya, dalam kebahagiannya, jauh, jauh dilubuk hatinya masih terpendam cinta yang sama untuk lelaki itu. Dalam angannya, mungkin dia akan menjadi seseorang yang teramat bahagia kala menjalani usia senja yang kini menghampirinya bersama-sama dengan orang-orang yang dicintainya, lelaki itu, anak-anaknya beserta cucu-cucunya.
Sang penyerang tubuhnya semakin hari semakin merajalela. Dalam ketidakberdayaannya dia pasrahkan segalanya pada Sang Maha Kuasa. Dengan segenap hati dan jiwanya dia menyadari bahwa sesuatu yang berawal pasti akan ada akhirnya. Termasuk kehidupannya. Dia sadar betul akan hal itu. Dalam masa-masa penantian dan harapannya untuk dapat bertemu kembali dengan lelaki itu, keadaannya semakin memburuk. Sekian lama menanti namun kesempata itu tak kunjung datang. Hingga suatu ketika, dalam kondisi tubuhnya yang sangat lemah, lelaki itu muncul dihadapannya! Mungkin Allah begitu sayang pada wanita itu sehingga untuk sesaat segala ego dan keangkuhan lelaki itu luluh lantak. Dan kini dia datang, berdiri di depan wanita itu, berbicara padanya, tidak dengan keadaan yang murka tapi dengan ucapan yang lembut dan damai. Betapa bahagianya wanita itu, hingga tak sepatah katapun keluar dari bibirnya. Hanya air mata yang berderai dengan begitu derasnya.. Hanya pancaran matanya yang berbicara. Memberikan satu isyarat seolah menyampaikan isi hatinya pada lelaki itu "Lihatlah, aku tetap setia padamu, tetap setia pada janjiku untuk tetap mencintaimu apa adanya, hingga maut memisahkan kita...."
Entah karena kekuatan cintanya, lelaki itu pun menangis tersedu... Mungkin terbersit penyesalan di hatinya, hingga saat ketika dia harus pergi, bekas tangisan itu masih tampak tersirat di wajahnya.
Keadaan sang wanita sepeninggal lelaki itu semakin melemah. Hingga akhirnya dia kembali kepangkuan Sang Khaliq dengan wajah yang begitu tenang, seolah terlepas dari segala beban hidup dan perasaannya dengan membawa cinta dan kesetiannya untuk lelaki itu....

Tidak ada komentar: