21 April 2010

Ka eR eL


Sebelumnya, tak pernah sedikitpun terpikir untuk menjadikan KRL sebagai sarana transportasi. Pemandangan penumpang KRL yang selama ini saya ketahui, benar-benar pemandangan yang bikin miris. Nyawa manusia seakan tak ada artinya. Terlihat jelas, di saat jam-jam sibuk di pagi hari atau sore menjelang malam, gerbong-gerbong yang panjang berderet itu penuh sesak dengan penumpang, sampai-sampai atap gerbong yang nota bene bukan tempat untuk penumpang pun ikut-ikutan penuh bahkan beberapa ada yang hanya 'menempel' di bagian belakang gerbong. Ketika kemudian mutasi tugas ke Jakarta saya terima, mengharuskan kami untuk membuat pilihan di mana kami akan menentukan tempat tinggal. Semaksimal mungkin kami berusaha untuk mempertimbangkan berbagai hal sebelum akhirnya pilihan kami jatuh di kota Depok.
Apa yang sebelumnya 'tak pernah terlintas'pun kini menjadi salah satu bagian kehidupan kami. Ya, jarak tempuh yang lumayan jauh antara rumah dan kantor, 'memaksa' kami untuk memilih KRL sebagai sarana transportasi kami untuk beraktifitas di dunia kerja. Beruntunglah kami, karena saat ini sudah tersedia KRL dengan label ekspres, sehingga kami terbebas dari pemandangan KRL yang 'miris' itu. Jarak yang lumayan jauh itupun dapat kami tempuh rata-rata dalam waktu 30-45 menit. Jadilah kami tercatat sebagai anggota 'roker' (rombongan kereta).

Awalnya memang agak sulit buat saya. Pertama karena memang saya belum pernah menggunakan KRL sama sekali. Kedua, pengalaman baru ini harus dijalani justru di saat jam sibuk di pagi hari. Jadilah seperti Nyi Iteung yang baru saba kota, serba canggung walaupun nggak sampai panik. Akhirnya, saya pun memilih untuk menggunakan trik ikut arus alias ikut-ikutan apa yang dilakukan sebagian besar orang-orang di KRL.
KRL yang saya naiki setiap hari walaupun berlabel ekspres, kadang bergerak seperti ulat di atas daun. Perlahan tapi pasti membawa keterlambatannya menular pada seisi penumpang. Di saat seperti ini mulailah gumaman dari para penumpang terdengar. Belum lagi jadwal yang tiba-tiba berubah atau terjadi kerusakan teknis pada jaringan listrik atau terjadi kemacetan KRL lain atau kereta lain yang tiba-tiba rusak di tengah perjalanannya atau karena hal-hal lain yang tiba-tiba saja terjadi dan mengacaukan jadwal yang sudah terstruktur. Namun walaupun sering kali kekacauan jadwal seringkali ditemui, tetap saja para member 'roker club' setia pada angkutan ini.
Pernah pada suatu ketika terjadi 'kecelakaan' yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan listrik di salah satu stasiun. Seluruh jadwal KRL lumpuh total. Hingga sore hari ketika tiba waktunya untuk kembali ke rumah masing-masing, perbaikan jaringan itu belum dapat teratasi. Mau tidak mau suka tidak suka akhirnya saya harus mencari alternatif angkutan lain untuk dapat pulang ke rumah. Bersama-sama dengan member yang lain akhirnya kami mendapat tumpangan sore itu dengan membayar sesuai tarif yang telah disepakati. Apa yang terjadi? Masya Allah.... kemacetan di mana-mana. Maju sedikit terjebak kemacetan kembali di tempat lain. Waktu tempuh untuk pulang kerumahpun bertambah. Dalam keadaan normal biasanya saat maghrib kami sudah berada di rumah, tapi kali ini baru sekitar jam 20.30 kami sampai di rumah. Tak terbayangkan kalau hal seperti ini harus dijalani setiap hari. Banyak waktu terbuang percuma hanya dihabiskan di perjalanan.. Inilah pula yang menjadi salah satu pemicu kesetiaan para roker. Dengan KRL disamping waktu tempuh yang relatif lebih pendek, bebas pula dari kemacetan. Dengan angkutan lain, pulang ke rumah tentunya badan sudah dalam keadaan letih tapi dengan KRL kadang malah masih sempat untuk sekedar 'merem-merem ayam' sejenak hingga ketika tiba di rumah badan lumayan lebih fresh.

Menjadi member roker kini sedikit banyak membawa perubahan dalam aktifitasku. Mulai dengan kebiasaan untuk tepat waktu, karena bila lalai sedikit konsekuensinya adalah ketinggalan kereta dan harus menunggu jadwal berikutnya yang artinya belum tentu dapat tepat waktu tiba di kantor yang artinya pula potongan penghasilan tunjangan kerja sudah menanti, hingga kebiasaan untuk lebih bergerak cepat dan bertindak gesit terutama pada saat naik dan turun dari kereta. Kebetulan saya naik dan turun di stasiun tengah-tengah rute perjalanan sehingga KRL hanya berhenti sesaat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Itulah kemudian yang mendorong saya untuk lebih bertindak simple, salah satunya dengan mengganti tas yang biasanya saya sesuaikan dengan pakaian dan sepatu yang dikenakan dengan tas ransel!! Wow suatu hal yang baru buat saya, karena selama ini saya bukan 'pengguna' ransel bahkan saat dulu masih sekolah sekalipun.
Jadilah ransel ini teman setia saya setiap hari, lengkap dengan segala isi yang inti (payung, dompet, HP, plus kursi lipat....) Para roker lebih banyak menggendong ranselnya di bagian depan, termasuk saya tentunya.. Ada beberapa keuntungan yang didapat dengan pengenaan ransel seperti itu. Misalnya ransel di depan relatif tidak menimbulkan gangguan pada penumpang lain sehingga terhindar dari peristiwa "kecantol", menghindari dari tangan-tangan jahil alias para copet dan juga bisa berfungsi sebagai tameng bagi para roker wanita yang melindungi tubuh bagian depan mereka. Selain itu juga kalau pas bawa bekal makanan, lebih mudah untuk mengambilnya kan?
Selama dalam perjalanan di KRL, seringkali kita temukan hal-hal baru. Awal-awal jadi member, susah sekali buat saya untuk sekedar berdiri tegak tanpa pegangan ke tali gantungan yang telah disediakan. Memang kadang-kadang karena penuh dan sesaknya penumpang, sebagian penumpangn tidak kebagian tali pegangan itu. Tapi di lain waktu saya pernah melihat seorang wanita yang umurnya kira-kira sudah tidak muda lagi, berdiri tegak dengan mengenakan sepatu hak tinggi dengan tenangnya dia berdiri, satu tangan memegang tali sementara tangan satunya lagi memegang buku dan membacanya selama dalam perjalanan. Hebat bukan?
Hal lain yang saya temui di KRL ini adalah mengenai emansipasi dan toleransi. Sudah menjai pemandangan umum di dalam satu gerbong yang dipenuhi penumpang itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tempat duduk yang terbatas tidak memungkinkan untuk memberi fasilitas tempat duduk untuk semua penumpangnya. Nah, saat seperti inilah sering terlihat para bapak, om-om, anak-anak muda yang nota bene mereka adalah laki-laki duduk manis dengan santainya sementara di hadapan mereka berdiri para wanita. Kadang beberapa ada yang tidak enak hati dan memberikan kesempatan untuk duduk pada para wanita. Namun tak jarang pula mereka cuek dan tenang-tenang saja bahkan cenderung bersikap tak peduli. Mungkin inilah yang dianggap sebagai bentuk emansipasi bahwa laki-laki dan perempuan punya hak yang sama sehingga tak perlu lagi ada toleransi.
Sepanjang perjalanan dapat kita lihat berbagai macam kebiasaan para penumpangnya. Ada yang sambil baca koran (walau dalam keadaan berdiri), baca buku, otak-atik HP plus dengan headset terpasang, dan yang paling banyak dijumpai adalah orang-orang yang terkantuk-kantuk bahkan ada yang sampai tertidur pulas. Namun anehnya jam tubuh mereka sudah punya alarm masing-masing sehingga pada saat menjelang tempat tujuan, mereka dapat bersiap-siap dan turun di stasiun yang dituju. Jarang ditemui yang kebablasan karena tertidur. Kebiasaan membaca buku yang dulu sering saya tekuni, sejalan dengan kerepotan ini itu, akhirnya lama terabaikan. Tapi kini sudah mulai dapat saya lakukan lagi di dalam KRL! Wah satu nilai plus pun bisa saya dapatkan....

Hari-hari yang kujalani dengan KRL ekspres ini memang memberi warna tersendiri, setidaknya hal ini memang sudah menjadi bagian perjalanan hidup yang harus dilalui. Walaupun sebelunya tak pernah terpikir sama sekali dengan apa yang dihadapi sekarang ini. Itulah hidup.. yang pasti bila kita ingin tetap survive kita harus terus belajar untuk memahami, menerima dan menghadapi apa yang Dia berikan untuk kita.

Tidak ada komentar: