22 September 2010

Refleksi Diri

Ulang tahun bisa dijadikan sebagi momen untuk berintrospeksi atau juga untuk mengenang masa-masa yang telah dilalui. Segala cerita suka, duka, sedih, senang tentunya akan terekam menjalin suatu cerita kehidupan.
Tiga puluh delapan tahun, bukanlah waktu yang sebentar. Kadang aku merasa baru beberapa saat yang lalu masa kecilku kujalani, rasanya baru saja masa remajaku berlalu, hingga saat ini tak terasa pula anakku pun sudah mulai masuk masa remaja.
Bila mengenang masa yang telah lalu, hidupku penuh dengan warna. Masa kecilku bersama orangtua dan saudaraku, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan keceriaan selayaknya dunia anak-anak. Bermain, bersekolah, bercanda bahkan tak terlewatkan masa-masa bertengkar. Masih terekam dalam ingatan saat-saat kami pergi bersama mengunjungi tempat-tempat wisata atau hanya sekedar berjalan-jalan dan bermain di taman. Kebersamaan memang selalu indah untuk dikenang..


Masa-masa bersekolah pun penuh dengan cerita. Masih segar dalam ingatan, saat aku masih di Sekola Dasar, berbagai kegiatan kuikuti. Mulai dari pramuka, pernak-pernik petugas upacara, bernyanyi dalam vocal group maupun dalam paduan suara serta bermain assemble music dan angklung. Masih teringat saat-saat berkemah pertama kali di Jatinangor, masih teringat pula saat menjadi petugas upacara'langganan', tampil bernyanyi bersama dan bermain angklung di siaran televisi satu-satunya saat itu. Masih teringat pula saat-saat kami 'ngamen' bermain angklung di hotel-hotel, seringnya bermain di hadapan bule-bule yang begitu takjub dengan alat musik tradisional ini. Bahkan masih teringat pula saat kami berpanas-panasan, masih bermain angklung, di pinggir jalan di siang hari menyambut kedatangan tamu-tamu saat ulang tahun Konferensi Asia Afrika hingga berpanas-panas saat pengguntingan pita oleh walikota kala itu dalam rangka peresmian pasar di dekat sekolah kami. Belum lagi saat kami tampil bernyanyi dan nembang sunda dalam berbagai acara. Bila saat nembang sunda sudah dapat dipastikan kostum kami adalah kebaya lengkap dengan sanggulnya. Beruntunglah aku, ibuku seorang yang kreatif , tanpa harus ke salon pun ibu mampu mendandaniku maksimal hingga aku pun PD untuk tampil. Padahal bila kulihat lagi foto-foto di masa itu, wow... begitu heboh sehebohnya.... Tapi bagaimanapun itu semua menjadi kenangan indah tersendiri buatku.
Masa SMP pun masih kulalui dengan segala aktifitasku. Ikutan dalam OSIS, patroli keamanan sekolah (saat itu seringnya ngikut lomba baris-barisan plus ngitungin angkot lewat yang mau masuk terminal di depan sekolah... dulu sih asyik-asyik aja, sekarang? hiiii... malu-maluin....) Bareng sahabat-sahabatku sempat juga membentuk 'genk' ya sekedar buat ngumpul-ngumpul buat seru-seruan...
Masa SMA, tidak banyak kegiatan yang kuikuti. Mungkin karena saat itu aku pindah rumah dari rumah yang lama ke ujung dunia sana.... Satu-satunya kegiatan yang kuikuti hanya sebuah grup diskusi. Mungkin itu pula cikal bakal aku menjadi orang yang bawel (ha..ha...ha...) Bersama sahabat-sahabatku kala itu kami bertekad untuk dapat menggapai cita-cita kami masing-masing, beruntunglah aku, sahabat-sahabatku ini orang yang tahu tanggung jawab hingga aku terpacu untuk selalu menjadi lebih baik dan lebih baik lagi...
Memasuki masa kuliah, aku mulai berpisah dengan keluargaku dan sahabat-sahabatku. Tempat kuliahku saat itu di Jakarta dan memaksaku untuk meninggalkan kota kelahiranku. Sebuah titik balik kehidupanku pun dimulai. Berawal dari sebuah nadzar untuk berjilbab saat kuliah hingga akhirnya kutemukan ilmu-ilmu keislaman yang sebelumnya belum kuketahui.. Suasana dan lingkungan yang begitu kondusif benar-benar telah mengubah hidupku. Segala kebencian yang sekian lama ada di hatiku perlahan mulai pudar seiring pemahaman yang kudapatkan. Alhamdulillah kutemukan jalan itu di sini..

Selepas pendidikan tersebut tahun 1994, yang nota bene pendidikan kedinasan, mengantarkan aku menjadi seorang PNS. Satu hal yang dulu tak terlalu kupikirkan adalah masa-masa penempatan kerja setelah kami lulus. Dan ternyata masa magang di Kantor Pusat di Jakarta hanya kujalani sekitar 1 tahun kemudian masa bakti di daerah pun dimulai. Dan tempat pertama yang harus kutuju adalah Kab. Bondowoso. Wahhh.. namanya saja baru kudengar saat aku mendapat SK, apalagi membayangkan tempatnya seperti apa... Satu hal yang pasti saat mendapat SK itu yang pertama kali kulakukan adalah mencarai peta! Setelah kucari-cari di daerah Jawa Timur, waduh ternyata hampir ke ujung timur pulau Jawa! Mungkin saat itu yang punya 'kuasa' menempatkan para prajurit ini menyamakan dengan nama sebuah legenda, "Bandung-Bondowoso"....
Awal menjalani kehidupan baru di kota ini benar-benar dipenuhi dengan kebosanan. Kota kecil yang sebegitu sepinya, hingga penduduk sana pun menjulukinya dengan kota pensiunan. Untuk menuju ke kota ini pun diawali dengan melalui kelokan kelokan tajam di daerah yang bernama Arak-arak. Kendaraan yang ke arah sana adalah kendaraan yang memang bertujuan ke sana, karena kota itu bukan kota perlintasan. Suasana yang begitu sepi, dibandingkan dua kota yang sebelumnya kutinggali, ditambah lagi udaranya yang cukup dingin benar-benar membuatku 'serasa dibuang'. Tapi rupanya hikmah yang kudapat dari keadaan itu ditampakkan oleh Allah. Di sinilah Allah mempertemukanku dengan suamiku. Tak perlu waktu lama, dengan berbekal keyakinan dan kemantapan yang kudapat dari istikharahku, kami pun menikah di akhir tahun pertama aku di sana.
Dua tahun setengah kehidupanku disana. Cukup membuatku untuk mengetahui daerah-daerah sekitarnya, mulai Jember, Surabaya, Banyuwangi hingga sempat pula sampai ke Denpasar. Panggilan tugas berikutnya pun telah menanti. Di penghujung tahun 1997, kantor kami ditutup dengan alasan untuk efisiensi dan efektifitas organisasi. Tempat yang menjadi tujuan kami selanjutnya adalah kota kelahiran suami, yaitu Madiun.
Tiga tahun kehidupan bersama keluarga kecilku kuhabiskan di sana. Tak banyak yang berkesan, selain kotanya yang jauh lebih ramai dari tempat sebelumnya dan lebih dekat dan lebih mengenal keluarga besar suamiku. Kehidupan yang tenang selama tiga tahun itu pun kemudian terkoyak dengan hadirnya SK kepindahan tugas kami selanjutnya. Samarinda, sebuah kota di bumi Kalimantan Timur menjadi tujuan kami berikutnya. Dengan segala keterbatasan dan keberatan hati, akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, kami pun harus berangkat juga. Dengan menggunakan kapal ferry bersama-sama seorang teman kuliahku dan keluarganya (saat itu biaya perjalanan pindah kami sangat-sangat terbatas...) mulailah kami mengarungi babak baru kehidupan. Seingatku saat itu kami berangkat Kamis malam dan baru sampai di pelabuhan Semayang Balikpapan hari Sabtu pagi! Sebuah perjalanan yang melelahkan.. Itu pun masih harus bersambung dengan mobil angkutan untuk mencapai kota Samarinda.
Berbekal alamat kerabat dari teman kami di Madiun (saat itu kami sama sekali tak punya tempat tujuan..) mulailah kami menapaki kota itu. Dengan pertolongan Allah melalui kerabat teman kami itu, alhamdulillah untuk sementara kami mendapat tempat berteduh sambil mencari-cari rumah kontrakan.
Samarinda, memang berbeda dengan tempat-tempat yang kutempati sebelumnya. Walaupun berlabel sebagai ibu kota provinsi, sarana dan prasarana yang ada tak seperti kota-kota lain di Jawa. Biaya hidup yang tinggi, air bersih susah didapat, rumah kontrakkan yang layak begitu mahalnya, belum lagi bila hujan deras mengguyur kota ini barang 1-2 jam saja hampir dapat dipastikan banjir terjadi di mana-mana, di pusat kota sekalipun! Letak kotanya yang dibelah dengan sungai Mahakam ditambah lagi struktur tanah yang berbukit-bukit dan tentunya tata kota yang kurang memadai, menjadikan Samarinda menjadi kota langganan banjir. Bertahun-tahun kami menjalani kehidupan di kota ini. Cerita suka dan duka silih berganti hadir di kehidupanku. Di kota inilah dua buah hatiku dilahirkan. Di kota inilah, kemudian aku belajar banyak mengenai hidup mandiri. Jauh dari orang tua, saudara dan orang-orang yang kucintai. Tak ada tempat mengadu, tak ada tempat berbagi. Tujuh tahun lebih kujalani kehidupan ku di sana. Dan saat-saat lebaran menjadi saat yang begitu mengharukan.. Tak ada kesempatan untuk pulang, bukan hanya karena waktu yang terbatas tapi juga karena biaya yang begitu banyak yang haris disiapkan untuk dapat berkumpul bersama orang tua dan saudara-saudara. Teman -teman senasib dan seperjuanglah akhirnya yang menjadi keluarga baru kami di sana. Bayangkan, tujuh tahun, tujuh kali lebaran (ngalahin Bang Toyib yang cuma tiga kali lebaran kan??) kami terpisah dengan keluarga besar kami.
Kehidupan yang penuh ketidakpastian ini, akhirnya mendorong suami untuk mencari alternatif tempat kerja yang bisa membuat kami menetap. Dengan kemurahan Allah, akhirnya suamiku bisa pindah instansi walaupun masih dalam satu departemen, hanya saja tempat kerja yang baru ini tidak mempunyai kantor daerah, sehingga kami pun dapat dengan aman dan nyaman menjalani kehiupan kami selanjutnya.
Tapi Allah rupanya punya rencana lain. Saat suami sudah mulai berdinas di kantor barunya di Jakarta, permohonan pindahku ditolak mentah-mentah oleh kantor pusat. Jadilah kami menjalani LDL (long distance love) terpisah lautan antara dua pulau. Padahal saat itu anak kami yang bungsu baru berusia 3 bulan! Jadilah aku single parent untuk sementara. Mulai aktifitas di rumah dengan bayi kecilku, tugasku di kantor hingga mengantar jemput anak sekolah harus kujalani sendiri. Dalam keadaan sulit itu, ibuku menyengajakan diri datang ke Kalimantan. Mungkin nurani keibuannyalah yang menggerakkan hatinya untuk menemaniku di sana. Tapi kemudian cobaan Allah datang lagi. Ibuku harus dirawat di rumah sakit karena penyakit diabetesnya kambuh lagi.
Masa-masa sulit itu akhirnya dapat kami lewati. Ibu kemudian dibawa pulang ke Jawa, dan meneruskan perawatan di sana. Tinggallah aku sendiri lagi bersama tiga buah hatiku. Merekalah yang selalu memberiku kekuatan untuk selalu bertahan dan berjuang agar dapat bersama kembali bersama suami dan ayah mereka. Hingga akhirnya jalan itu terbuka. Aku lulus dalam sebuah assesment dan berhak untuk ditempatkan di kantor-kantor yang dijadikan pilot project reformasi birokrasi di departemen kami. Alhamdulillah, penempatanku kudapatkan di Kota Serang. Walaupun tidak satu kota dengan suami, tapi setidaknya jarak antara Jakarta Serang jauh lebih mudah dijangkau daripada Jakarta Samarinda.
Dua tahun pas kujalani kehidupanku berikutnya di kota ini. Rasa syukur kami panjatkan, disamping dapat berkumpul kembali sebagai satu keluarga yang utuh, anak-anak pun dapat mulai mengenal saudara-saudaranya.
Satu-satunya saat yang begitu menorehkan kesedihan yang kudapat di kota ini adalah saat ibunda kami menghembuskan nafas terakhirnya di tengah-tengah kami, di pertengahan Juni 2009.
Kemudian mutasi itu datang lagi dan kepindahanku berikutnya kembali ke Jakarta menjadikan Depok sebagai tempat tinggalku yang ketujuh!

Sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan liku-liku. Rasa suka cita, bahagia, senang, sedih, benci, terabaikan, tersingkirkan, tersanjung, dan segudang rasa lainnya pernah kualami. Tiga puluh delapan tahun kehidupan yang telah kujalani dan empat belas tahun diantaranya kujalani dalam nuansa yang berbeda, dipenuhi dengan warna-warni cerita kehidupan serta coretan-coretan yang tentunya menjadi pelajaran yang teramat berharga. Semoga waktu yang telah kujalani dan waktu yang tersisa untukku selalu dipenuhi dengan rahmat dan berkah Allah selamanya.. amin... Semoga...

Tidak ada komentar: