25 Desember 2011

Surprise

"Maafkan, jika saat ulang tahun kita, 
atau saat ulang tahunmu 
aku tak memberimu sebuah bingkisan, 
bukan karena aku lupa, 
tapi karena kesempatan & kendala yang ada, 
mungkin hanya ucapan kata tidaklah terlalu berarti. 
Andai aku mampu, 
 walau engkau mengajakku untuk pergi kebulan, 
pasti akan aku lakukan..."

Aku tertegun dan terharu. Benar-benar terharu. Di tanganku kugenggam erat sebuah bingkisan cantik. Hari ini bukan hari ulang tahunku, bukan pula hari jadi pertemuan kami. Kutatap matanya dalam-dalam. Kutemukan ketulusan di sana. Kata-katanya membuatku terkejut dan aku tak pernah menduga dia akan mengatakannya.Mungkin bagi sebagian besar orang bukan suatu yang aneh, hanya kata-kata yang biasa. Tapi tidak buatku. Walau aku tahu terdengar sedikit gombal, tapi ternyata aku menyukai untuk sesekali digombalin.
Lima belas tahun hidup bersamanya, bukan waktu yang sebentar untuk mengenal dirinya. Saat-saat seperti ini sudah sekian lama kuimpikan. Dari awal pertemuan kami sampai akhirnya keputusan untuk saling mengikat janji memang kami jalani dalam jarak waktu yang tidak terlalu lama. Itulah makanya kami belajar untuk saling mengenal satu sama lain lebih jauh justru setelah kami menikah. Pacaran sesungguhnya yang kami jalani adalah setelah kami syah sebagai suami istri. Bukan hal yang mudah untuk menyatukan dua pribadi yang berbeda. Apalagi kami berasal dari daerah dan budaya yang jauh berbeda. Banyak sifat, kebiasaan yang selama ini terbiasa bagiku, mungkin buat dirinya adalah sesuatu yang tidak biasa. Begitupun sebaliknya. 

Aku ingat, saat awal hidup dengannya, aku memimpikan hal-hal romantis tentang dirinya. Mungkin akan kutemui surprise di hari ulang tahunku dengan sebuah puisi indah di saat aku bangun di pagi hari, atau nyanyian cinta yang dia lagukan untukku atau sekedar persembahan bunga mawar merah, itu pun sudah cukup buatku. Tapi ternyata buatnya itu bukan "sesuatu yang lumrah". Dia yang dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung keras, dalam didikan orang tua yang berprofesi tentara. Baginya hidup adalah mandiri, kerja keras dan menjalani apa yang ada. Sedangkan aku dibesarkan dalam lingkungan dan limpahan kelembutan seorang ibu yang sepenuhnya mengurusi anak-anak dan keluarganya, sehingga sebagai anak perempuan yang didamba aku tergolong manja.

Awalnya, perbedaan persepsi & pendapat sering kami temui. Namun aku bersyukur semua dapat dijalani dan dilalui walaupun tidak dalam kemudahan. Mungkin karena kami punya tekad yang sama, bahwa apapun perbedaan yang kami temui itulah adalah kekayaan yang sesungguhnya kami miliki. Kembali pada harapan keromantisan, sebenernya hal itu sudah sering kuungkapkan padanya. Aku tahu bukan karena dia tak mau, tapi mungkin karena tak terbiasa sehingga menjadikannya canggung. Setiap kali kuiingatkan akan sikapnya, dia hanya tersenyum, entah senyum yang mencerminkan apa. Sesekali dia mengikuti apa yang kuminta, tapi kemudian dia kembali pada kebiasannya. Dan lama-lama aku pun mulai capek untuk sekedar meminta & mengingatkannya. Hingga akhirnya aku pun terlupa dan menjalani kebersamaan kami apa adanya.

Bersamanya aku tumbuh menjadi seorang yang mandiri. Aku bukan lagi seorang yang "cenderung cengeng" dan sangat bergantung pada orang lain.
Bersamanya pula aku merasa menjadi 'orang yang kuat'. Hari-hari yang kujalani memberiku banyak pengalaman dan pelajaran yang berharga, dan itu kudapatkan saat menjalani hidup bersamanya.

Ya, aku sadar, mungkin tak ada keromantisan setiap saat seperti yang kuimpikan,
tapi dia memberikan cintanya dalam bentuk yang lain.
Memang tak tampak dalam pandangan mata, tapi aku merasakan limpahan cintanya yang begitu besar...
Aku hanya bisa berharap dan berdoa, kami tetap mampu bertahan walaupun badai dan godaan datang di antara kami. Kami memang bukan manusia sempurna, yang tak pernah luput dari salah dan khilaf. Semoga kata-kata yang pernah kami ucapkan ini tetap menghunjam di dalam hati, "I love you and you're the only one..." semoga....

Tidak ada komentar: