22 Desember 2011

Hari Ibu




Berbicara mengenai Hari Ibu, yang terlintas di benak kita tentunya peran & jasa-jasa ibu bagi anak-anaknya dan keluarga serta peran para wanita lainnya pada umumnya. Jasa dan kasih sayang ibu itu sudah pasti tak terhingga. Namun bagi segolongan orang, Hari Ibu juga dianggap sebagai momen untuk menunjukkan kemampuan para wanita berkiprah di dunia kerja, serta kiprah mereka dalam keluarga. Memang tak ada salahnya di balik tuntutan keinginan hidup yang layak serta keinginan memberikan kontribusi kepada masyarakat akan ilmu yang dimilikinya, para wanita, istri dan para ibu turut serta berkiprah di masyarakat. Hanya saja, menurut saya, batasan-batasan untuk berkiprah itu tetaplah harus ada dan dipatuhi. Namun bagi kaum feminis, kesetaraan gender menjadi topik yang memang harus diperjuangkan. Yah, berbeda pendapat itu pun juga hal yang biasa, asalkan masing-masing tetap bertanggung jawab atas pilihannya.
Bertepatan dengan hari ini, yang terlintas di benak saya saat ini bukan hanya bagaimana jasa-jasa ibu buat kita. Itu sih sudah pasti dan tak perlu diperdebatkan lagi. Yang terpikirkan di benak saya justru cerita-cerita, pengalaman dari berbagai sumber tentang para ibu yang saat ini berperan ganda. Ya sebagai istri, ibu dari anak-anaknya dan juga sebagai seorang yang bekerja di luar rumah. Entah itu untuk turut mencari nafkah ataukah hanya sekedar hobi menyalurkan keinginan untuk dapat berekspresi di masyarakat. 


Ketika saya bertugas di Jawa Timur, ada cerita seorang kawan yang sampai saat ini masih saya ingat dan benar-benar saya ambil pelajaran dari pengalamannya. Tersebutlah kawan saya itu sebagai seorang istri pejabat di salah satu BUMN terkemuka. Beliau mempunyai 3 orang putra yang jaraknya satu sama lain tidak terpaut jauh. Hari-hari kegiatannya selalu penuh dengan acara. Di samping beliau sebagai pegawai, beliau pun tak jarang harus mengikuti & menjadi pelaksana acara dari kegiatan-kegiatan "sampingan" di kantor suaminya.


Jangan tanya bagaimana sibuknya beliau, hingga seluruh urusan rumah tangga dan pengurusan putranya pun tak sempat dilakukannya. Beruntunglah beliau punya pendamping & pengasuh yang dapat dipercaya. Si Mbok, begitu biasa dipanggilnya, telah ikut bersamanya sejak awal dia menikah. Demikianlah, semua urusan & pengasuhan putranya ditangani oleh si Mbok ini. Bahkan mulai dari mereka lahir. Kawan saya ini meski menyadari kehadiran anak itu adalah anugrah, namun kesibukan yang dijalaninya tak juga berubah. Hingga suatu saat, si Mbok yang mulai renta, diajak pulang ke kampung untuk hidup bersama anak kandungnya yang saat itu  kehidupannya sudah mulai membaik. Mulailah kehdiupan rumah tangga kawan saya itu tanpa kehadiran si Mbok. Pengasuh baru sudah didapatkan, pembantu rumah tangga pun sudah pula tersedia. Namun hari ke hari putra-putranya tak juga mau melepas kepergian si Mbok. Selalu mereka menginginkan yang biasa mereka dapat dari si Mbok. Kawan saya mulai kebingungan. Sejenak dia mengambil cuti dan menghentikan semua kesibukannya. Namun rupanya, putra-putranya terlalu merindukan si Mbok, hingga kehadiran ibu kandungnya tak juga menghapus si Mbok dari benaknya. Hingga kemudian, kabar mengejutkan saya terima, ketiga putranya masuk rumah sakit, mereka harus dirawat intensif karena ternyata mereka tak berselera untuk makan. Menangislah kawan saya itu. Bingung apa yang harus dilakukannya. Dia bertutur apapun yang dia lakukan selalu salah di mata putra-putranya, dan mereka selalu membandingkan bahwa si Mbok pasti tahu apa yang mereka mau. Dengan berat hati, akhirnya dia pun mengalah, dipanggilnya kembali si Mbok untuk tinggal bersama mereka lagi walaupun untuk sementara. Tapi kali ini kawan saya benar-benar berjanji untuk belajar dari si Mbok tentang semua masa-masa yang pernah terlewati olehnya. Dan beliau bertekad untuk merebut tempat di hati putra-putranya. 


Cerita lain saya dapatkan dari seorang teman yang setelah menikah selama 7 tahun lamanya belum juga diberi momongan. Berbagai cara dilakukan untuk dapat segera menimang anak. Sebagai seorang pegawai, dia tetap melaksanakan tugasnya. Namun bila ada informasi tentang pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pastilah dengan semangat akan disurvei bahkan beberapa langsung didatangi olehnya. Hal yang miris justru terjadi sebaliknya. Disaat dia begitu menginginkan seorang anak, saudaranya yang lain ditangkap polisi karena ketahuan telah melakukan aborsi. Tak habis pikir bagaimana mungkin seorang ibu membunuh darah dagingnya sendiri.


Kawan saya yang lain punya cerita berbeda. Di tempat kami, perpindahan antar kota antar provinsi, seperti bis-bis yang biasa kita temui saja :),  adalh hal yang biasa. Mungkin saking biasanya, kapan kami dipindah, ke daerah mana kami akan kami tuju selanjutnya menjadi guyonan di antara kami. Nah, kawan yang ini, suaminya pun sama terbiasa di -rolling dalam menjalankan tugasnya. Hingga kadang, saat sang suami dipindah ke daerah A, kawan saya justru mendapat tugas ke daerah B. Mengingat kurun waktu bertugas di suatu daerah pun tidak dapat ditentukan lamanya, mereka akhirnya mengambil keputusan untuk hidup sendiri-sendiri, dalam arti mereka tetap sebagai keluarga, tapi menjalani aktifitas sendiri-sendiri. Dan anak-anak mereka, dengan pertimbangan perkembangan pendidikan, akhirnya dengan terpaksa direlakan untuk diasuh oleh sang nenek di kampung salah satu dari mereka. Andai saya berada di posisi mereka, entah bagaimana perasaan saya harus terpisah dari suami dan anak-anak. Tapi buatnya itu adalah pilihan terbaik.

Lalu bagaimanakah dengan saya? What a kind of mother am I? Saat ini saya pun juga berkerja sebagai seorang pegawai. Setiap hari saya harus pergi ke kantor, dari pagi hingga sore bahkan kadang menjelang malam baru kembali ke rumah. Aktifitas rumah tangga sebisa mungkin saya kerjakan dengan pengaturan waktu dan tenaga yang saya punya. Seringkali kebersamaan bersama anak-anak dan suami terlewatkan begitu saja. 

Bukan karena kesengajaan, tapi karena memang waktu yang tak memberi kesempatan. Tanpa bermaksud membela diri, tapi kehilangan momen - momen seperti itu telah cukup menorehkan rasa bersalah yang begitu dalam. Tapi seolah tak punya kuasa, kegiatan rutinitas seperti itu tetap saya jalani. Itulah makanya di saat ada kesempatan untuk menemani anak-anak belajar, atau menemani mereka makan malam atau sekedar mendengar cerita-cerita mereka di hari itu benar-benar suatu anugerah buat saya. Serasa hilang semua lelah & jenuh. Mengantar mereka tidur dan melihat mereka tertidur lelap dengan senyuman, itu pun sesuatu yang membahagiakan. Saya hanya bisa berharap, di hati anak-anakku selalu ada tempat untuk saya, dan tak sedikitpun akan kubiarkan orang lain mengambil tempat itu di hatinya. 



Di ujung sholatku, selalu kupinta pada-Nya, agar aku diberi kemampuan dan kesempatan untuk dapat melaksanakan kewajibanku, mendidik, merawat & membimbing anak-anakku, dan memberikan apapun yang terbaik untuk kehidupan mereka di dunia dan akhiratnya. Semoga saja, cinta mereka kepadaku akan tetap selalu ada sebagaimana cintaku yang selalu ada buat mereka..

(Terimakasih atas ungkapan cinta kalian lewat gambar-gambar ini, 
I love you, my kids..... )





Tidak ada komentar: