04 Januari 2012

Cerita sahabat, Sebuah Perjalanan

Pertemuan yang tak terduga, saat kami berlibur di pantai ini. Seorang sahabat lama, teman sekolahku ternyata juga menginap di hotel yang sama. Hanya saja dia tidak sedang berlibur, namun sedang menjalankan tugas profesinya.  dia yang kini telah berhasil mencapai cita-cita yang diinginkannya sejak kami sekolah dulu, menjadi seorang psikolog. 
Masih kuingat, kami dulu selalu bersama-sama, beraktifitas bersama, bersaing dalam pelajaran di kelas, dan kami sama-sama hobi membuat karangan cerita. Adalah kebiasaan kami saat itu untuk saling berkirim surat, bercerita tentang  apa saja, tentang hari-hari kami, bahkan tak jarang pula menuliskan khayalan dan cita-cita kami nantinya. Aku ingat pasti, cita-cita yang pernah diangankannya adalah menjadi psikolog, menjadi dokter anak dan menjadi guru TK. Kini dia dapat mencapai cita-citanya itu dan menikah dengan seorang dokter anak. 

Siang ini kami duduk berdua di pantai. Anak-anak kubiarkan bermain-main di pasir dan bermain-main dengan pecahan ombak yang mencium pantai. Terlihat begitu mengasyikkan buat mereka. Sesekali kudengar tawa riangnya di sela-sela hembusan angin dan deburan ombak. 

"Apa kamu bahagia, Ra?" sebuah pertanyaan menggelitik di awal pembicaraan kami siang itu. "Ah, dasar psikolog" ujarku. "Pertanyaan standar buat pasienmu ya?" Dia tersenyum, "Bukan, itu bagian pembuka untuk kita introspeksi atas apa yang telah kita dapat & kita jalani." Aku mencerna apa yang dia katakan itu. Ilmu dan pengalaman yang didapatnya membuat dia jauh lebih bijaksana seperti sekarang ini. Dia memandangku, aku jadi kikuk dibuatnya. 

"Oke, nggak usah dijawab sekarang" dia tersenyum. 
Kami terdiam sejenak, hingga kemudian dia berkata, "Kamu tahu, Ra, aku sekarang berjalan sendiri. Pernikahan buatku menjadi bias adanya." Aku tersentak, 
"Kenapa kau berkata seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi?" kupandangi raut wajahnya. 
Dia menatap lurus ke depan dengan pandangan yang jauh, seolah hendak melintasi bentangan laut biru di hadapan kami. 
Sejenak dia menghela nafas panjang, hingga kemudian suara lirihnya terdengar parau, "Aku harus bersaing dengan istana kedua, istana yang dibangun kembali oleh suamiku," 

Terkaget-kaget aku mendengarnya. Bagaimana mungkin? Aku tahu, mereka adalah pasangan yang kompak, setidaknya dari kabar yang aku dengar. Mereka berdua sama-sama punya kepedulian yang tinggi pada pendidikan, khususnya pendidikan anak. Yang aku tahu mereka berdua mendirikan yayasan & klinik untuk penanganan dan terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Yang aku tahu, suaminya pun "laris" sebagai dokter spesialis anak, sahabatku pun juga bukan orang sembarangan, sering mengisi acara-acara seminar sebagai pembicara, sering pula kubaca tulisan & ulasannya di media. Secara materi, aku yakin mereka tak kekurangan. Secara fisik, keduanya pasangan yang serasi, sama-sama pintar, suaminya ganteng dan sahabatku pun di usianya yang memasuki kepala 4 masih tetap terlihat cantik. Lalu apa yang sebernarnya terjadi? Kembali kutatap wajahnya, sekilas kulihat matanya berkaca-kaca.... 

"Keputusan yang berat, teramat berat. Ketika akhirnya aku menyetujuinya untuk menikah kembali dengan wanita pilihan orang tuanya" Aku terdiam, memilih untuk menjadi pendengar yang baik. Rupanya beban hidup yang dialaminya begitu berat. Mungkin setiap hari dia menjadi pendengar yang baik untuk para pasiennya. Mendengar segala keluh kesah & kisah mereka. Tapi sebagai seorang manusia biasa, aku yakin dia pun ingin didengar suara hatinya. Dia pun perlu seseorang untuk mencurahkan isi hatinya. 

"Bertahun-tahun kami menikah, selalu pertanyaan yang sama yang kami terima. Kapan punya anak? Atau, anaknya sudah berapa? Kadang cibiran dan omongan yang gak enak didengar aku terima. Dibilangnya aku terlalu mengejar karir sehingga tak ingin punya anak yang hanya akan menghambat karirku. Pertanyaan & pernyataan  yang selalu menyiksa batinku. Kami selalu berusaha mencari jalan agar dapat menghadirkan seorang anak dalam pernikahan kami. Berbagai saran & pengobatan kami jalani. Hingga di tahun kelima pernikahan kami, sebuah vonis yang menyakitkan aku terima. Aku tak mungkin hamil, karena organ reproduksiku tak sempurna!" Suaranya mulai tersendat. 
Kurangkul pundaknya. Sementara tanganku yang lain menggenggam erat jemarinya. Aku dapat memahami kegalauannya. Wanita mana yang tak hancur hatinya ketika dia divonis seperti itu. Sementara masyarakat selalu beranggapan kesempurnaan seorang wanita adalah manakala dia mampu menjadi istri & menghadirkan anak dalam pernikahannya. Anggapan yang menurutku keliru dan tak adil buat para wanita senasib sahabatku ini. Bukankah kita tak pernah bisa memilih untuk menjadi seperti apa diri kita? Karena dibalik semua itu ada Yang Maha Mengatur dan Berkehendak. Kun fa yakun  

"Hidupku hancur. Aku seolah dihempaskan. Aku wanita yang tak berguna, walau aku tahu anak adalah titipan Allah, tapi perasaan itu tetap menghantuiku sepanjang waktu. Awalnya suamiku selalu membesarkan hatiku. Dia yang membantuku untuk bangkit kembali, berserah diri pada kehendak Sang Kuasa. Aku bahagia memilikinya. Seorang yang bisa menerimaku apa adanya. Hingga kemudian, di tahun kedelapan pernikahan kami, sebuah badai besar kembali menghantamku." Terdiam sejenak, kulihat di sudut matanya telah menitik air mata... 

Kugenggam erat tangannya. Aku tak mampu berkata-kata. 

"Orang tuanya menjodohkan suamiku dengan seorang anak kenalan mereka. Saat itu suamiku hanya bisa menangis ketika perintah itu disampaikannya pada kami. Ya, sepanjang hidup bersamanya baru kali itu aku melihatnya menangis tersedu-sedu. Jangan kamu tanya apa rasaku saat itu. Aku hanya terdiam. Sementara suamiku dalam tangisnya memeluk erat tubuhku. Kami hanya bisa bersama-sama menangis dihadapan mereka. Tapi rupanya keputusan itu sudah bulat. Suamiku sebagai satu-satunya anak yang mereka miliki, setelah kakak perempuannya meninggal di usianya yang masih muda, sama sekali tak bisa membantahnya. Dan aku, aku tak mampu lagi untuk berpikir dengan akal sehatku." 

Cerita yang kudengar kali ini benar-benar tak terduga. Andai aku menjadi dirinya, aku pasti tak tahu harus berbuat apa. Sobat, betapa berat beban hidup yang kau alami... 

"Lima hari setelah perintah itu, hanya dalam waktu lima hari, aku menyetujuinya." Hah? Aku kembali terkaget-kaget. Bagaimana mungkin? Semudah itukah dia menyerah? 

"Setiap malam aku hanya mampu bersimpuh di hadapan-Nya, menangis dan berkeluh kesah pada-Nya. Hingga kemudian pikirku dapat memahami keputusan kedua orang tuanya. Ya, orang tua mana yang tak ingin punya garis keturunan. Satu-satunya harapan mereka hanyalah keturunan dari suamiku. Dan aku, aku tak mampu memberikan keturunan untuknya. Lalu,pikirku, kenapa aku begitu egois ingin menguasainya sementara mungkin harapannya bisa dia dapatkan dari orang lain? Atau kucoba alihkan pikirku, jika memang ini kehendak-Nya, adakah kuasaku untuk menolaknya?" 

Aku benar-benar tak dapat berkata-kata. Sebuah argumentasi yang masuk akal. Tapi haruskah dia mengorbankan dirinya, perasaanya dan kebahagiannya? Benar-benar tak adil untuknya. Aku yakin tak mudah untuknya mengambil keputusan itu. Aku tahu, sahabatku itu bukan orang yang mudah menyerah. Dulu, apapun yang diinginkannya akan sekuat tenaga dia perjuangkan untuk dapat meraihnya. Lalu kini? Apakah pelajaran & pengalaman hidup telah menempa dirinya menjadi pribadi yang berbeda? Entahlah... 

"Dan kini seperti inilah diriku. Kujalani hari-hariku apa adanya. Kadang aku menyesali keberanianku mengambil keputusan itu. Tapi kekuatan untuk berpasrah diri, membuatku mampu menjalani semuanya. Walau kadang aku masih sering menangisi hidupku.." 
Perkataan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Aku tahu itu. Dibalik ketegarannya, sebagai seorang wanita, pastilah telah tertoreh luka yang dalam, teramat dalam. Dan aku sepenuhnya dapat memahaminya. 


Ya, sepenuhnya aku dapat memahami kegalauan hatinya. Wanita mana yang ingin menjadi seperti dirinya. Masyarakat, lingkungan di sekitar kita seringkali menilai & memvonis wanita seperti sahabatku itu sebagai wanita yang tak mampu. Tak mampu membahagiakan suaminya dengan kehadiran anak di tengah mereka, hingga apabila suaminya berpaling pun dianggap sebagai suatu kewajaran. Sungguh suatu yang sangat naif. Apakah anda berpikir kebahagian dalam rumah tangga ditentukan dengan kehadiran anak? Tengoklah bagaimana keluarga-keluarga yang hancur karena anak-anak mereka menjadi pecandu narkoba misalnya. Atau bagaimana malunya anda sebagai orang tua ketika diketahui anak-anak anda tersangkut tawuran, hingga menyebabkan nyawa orang lain melayang, Atau yang lebih ekstrim lagi, apa yang akan anda lakukan sebagai orang tua ketika ternyata anak anda ketahuan berbuat maksiat karena keranjingan menonton tontonan-tontonan porno?
Andai kita diberi hak untuk memilih... Tapi semua sudah tertulis dan tercipta sebagaimana adanya. Allah pasti punya "rencana" dengan pemberian-Nya. 


Sahabatku ini, punya jiwa sosial yang sangat besar. Klinik yang dia bangun untuk pengobatan anak-anak berkebutuhan khusus bukannlah klinik yang komersial dengan berstandar pada bisnis. Berapa banyak orang tua yang merasa terbantu ketika anak mereka yang "kurang sempurna' akhirnya bisa jauh lebih baik dalam kehidupannya. Berapa banyak generasi muda yang terselamatkan dan sembuh dari ketergantungan narkoba setelah mendapat konseling denganya. Semua dia lakukan dengan kelembutan, kasih sayang & keikhlasan hatinya. Lalu masihkah harus dia terima cap sebagai wanita tak berguna dari masyarakat yang awam hanya karena Allah tidak memilihnya untuk melahirkan seorang anak?


Kini aku dapat menjawab pertanyaanmu tadi, sobat. Ya, aku bahagia... 
aku bahagia dan wajib untuk bersyukur telah mendapatkan semua kenikmatan dan anugrah-anugrah yang begitu indah sepanjang hidupku. Aku menyadari begitu banyak karunia yang kudapat, walau seringkali aku lalai dan lupa mengingat-Nya. Aku masih sering  berkeluh kesah dengan apa yang kudapat, meski yang kuhadapi jauh lebih sepele dari apa yang kau  alami.


Sebuah pelajaran berharga aku dapatkan darimu, sobat.. 


Lembayung senja mulai menghiasi langit di pantai itu. Kami berpelukan sesaat sebelum kembali menjalani aktifitas masing-masing. Dirangkulnya anak-anakku dengan pelukan yang begitu erat. Seolah tak ingin dia melepasnya. Dan di sudut matanya, kulihat genangan air mata, yang aku tahu, sebisa mungkin ditahannya agar tak jatuh. Kami saling berpamitan, dan lirih dia berkata, " Kamu seorang yang beruntung, Ra..."

Tidak ada komentar: